Pagi ini saya membaca sebuah artikel di salah satu portal berita nasional mengenai terbitnya regulasi teknis Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Kalian bisa membaca detailnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-196/PMK.03/2021. Program ini adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Melalui program ini, Direktorat Jenderal Pajak membuka kesempatan bagi para wajib pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi. Program ini menjadi episode baru kebijakan tax amnesty yang pernah digelar pada 2016 lalu.
Terdapat 2 skema dalam Program Pengungkapan Sukarela ini, yaitu :
- Untuk wajib pajak orang pribadi dan badan yang sudah menjadi peserta tax amnesty
- Untuk wajib pajak orang pribadi yang belum mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahun 2020
Nah, jika kalian mempunyai harta yang belum dilaporkan, baik dalam masa tax amnesty maupun SPT tahun 2020, sebaiknya jangan lewatkan kesempatan ini. Kalian bisa mengajukan pengungkapan sukarela mulai dari tanggal 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.
Bagaimana detail ketentuannya ? Simak dalam tabel berikut ini :
Keterangan | Skema I | Skema II |
Subyek | Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan peserta Tax Amnesty | Wajib Pajak Orang Pribadi |
Basis Aset | Aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat Tax Amnesty | Aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 |
Tarif PPh Final | – 11% untuk deklarasi – 8% untuk Aset di Luar Negeri yang direpatriasi dan Aset Dalam Negeri – 6% untuk Aset di Luar Negeri yang direpatriasi dan Aset Dalam Negeri, dg syarat diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy | – 18% untuk deklarasi -14% untuk Aset di Luar Negeri yang direpatriasi dan Aset Dalam Negeri – 12% untuk Aset di Luar Negeri yang direpatriasi dan Aset Dalam Negeri, dg syarat diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy |
Nah, apa keuntungan yang diperoleh jika kalian mengakses program ini ?
- Data/Informasi yang bersumber dari Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP
- Tidak dikenai sanksi perpajakan, yaitu :
- Skema 1 : Tidak dikenai sanksi Pasal 18(3) UU Tax Amnesty
- Skema 2 : Tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban 2016-2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap
Biar gampang memahaminya, mari kita bikin sebuah ilustrasi yang simple saja, yaitu dengan skema II.
Sebut saja Pak Dibyo. Tiba-tiba beliau ingat bahwa terdapat tabungan pada bank di Indonesia yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 lalu. Nilai tabungannya per 31 Desember 2020 adalah Rp 250.000.000,00 yang diperoleh pada tahun 2019. Selain itu, ada sebuah mobil yang dipakai oleh keponakannya seharga Rp 150.000.000,00 yang juga belum dimasukkan dalam daftar harta. Mobil tersebut dibeli pada tahun 2018. Nah, beliau bermaksud menggunakan kesempatan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.
Pak Dibyo akan mengungkapkan hartanya tersebut dengan rincian ; untuk tabungan akan diinvestasikan di sektor industri energi terbarukan, sedangkan untuk mobil hanya diungkapkan saja. Maka atas keputusan tersebut, akan dikenakan perhitungan PPh Final :
- Tabungan : Berlaku tarif 12%, sehingga pajaknya (12% x Rp 250.000.000 = Rp 30.000.000,00)
- Mobil : Berlaku tarif 14%, sehingga pajaknya (14% x Rp 150.000.000,00 = Rp 21.000.000,00)
Sehingga total PPh yang harus dibayarkan adalah Rp 51.000.000,00
Selain itu, harta tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan terhadap Pak Dibyo.
Apa yang terjadi jika Pak Dibyo tidak melakukan pengungkapan atas kedua hartanya tersebut ? Jika Direktorat Jenderal Pajak menemukan harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020, maka akan dikenai :
- PPh Final dengan tarif 30% ditambah
- Sanksi administratif berupa bunga per bulan ditambah uplift factor 15% [sanksi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pasal 13 ayat (2) UU KUP]
Dari poin 1 saja, Pak Dibyo harus membayar setidaknya 30% x (250.000.000,00 + Rp 150.000.000,00) = Rp 120.000.000,00. Belum ditambah lagi dengan sanksi administratifnya.
Baiklah, dengan adanya petunjuk teknis atas regulasi Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak ini, kita diberikan kesempatan untuk memeriksa kembali atas harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahun sebelumnya. Jangan sampai nanti malah ditemukan lebih dulu oleh Direktorat Jenderal Pajak. Karena kita tidak tahu jika sewaktu-waktu Direktorat Jenderal Pajak melakukan ekstensifikasi data perpajakan dari Lembaga lain, tiba-tiba muncul surat permintaan penjelasan data/keterangan (SP2DK). Seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya ini : Ini Akibat Tidak Melaporkan Harta pada SPT Tahunan