Ini Akibat Tidak Melaporkan Harta pada SPT Tahunan

Tulisan kali ini sedikit nyerempet pelajaran dan lebih serius. Hehe. Soal perpajakan. Tulisan ini juga saya masukkan ke web resmi tempat saya bekerja. Silakan dirujuk pada link ini.

Tidak terasa tahun 2021 sudah memasuki akhir bulan September. Artinya, kita sudah hampir memasuki triwulan terakhir tahun ini. Salah satu kewajiban rutin yang harus dipenuhi oleh ASN terkait perpajakan adalah melaporkan SPT Tahunan.

Memang, waktu untuk melaporkan penghasilan kita di tahun 2021 masih cukup jauh, yakni Januari sampai Maret 2022. Namun, tidak ada salahnya kita persiapkan data-datanya dari sekarang. Salah satu yang sangat penting namun banyak diabaikan adalah pelaporan Harta.

Wajib Pajab harus melaporkan secara rinci atas kepemilikan hartanya. Apa saja harta yang wajib dilaporkan ? Ada 6 kelompok, yaitu :

  1. Kas dan Setara Kas
  2. Harta berbentuk Piutang
  3. Investasi
  4. Alat Transportasi
  5. Harta Bergerak
  6. Harta Tidak Bergerak

Jika melihat kewajaran, setiap wajib pajak, termasuk ASN tentu saja memiliki harta. Oleh karena itu, mustahil jika tidak mengisi kolom harta pada SPT Tahunan. Mungkin selama ini hanya melaporkan beberapa item saja supaya bisa tersimpan ketika pengisian e-filing. Bukan tidak mungkin masih ada harta lain yang tidak dilaporkan.

Apa Akibatnya ?

Salah satu konsep yang harus dipahami adalah penghasilan yang kita terima akan dihabiskan melalui 2 hal, yaitu konsumsi dan investasi. Jika penghasilan tersebut tidak habis dikonsumsi, akan digunakan untuk investasi ke dalam aset, misalnya ditabung, membeli kendaraan atau tanah.

Jika harta yang kita kuasai tersebut tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Salah satu masalah yang mungkin timbul adalah jika harta tersebut ditemukan oleh Ditjen Pajak melalui mekanisme pemeriksaan atau ekstensifikasi pajak.

Direktorat Jenderal Pajak telah menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga, instansi maupun asosiasi lain terkait data transaksi wajib pajak. Saat ini tercatat ada setidaknya 69 lembaga yang secara rutin mengirimkan data kepada Ditjen Pajak.

Ilustrasi

Sebagai contoh, Ditjen Pajak juga mendapatkan data transaksi jual beli tanah, termasuk penerbitan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN/ATR). Misalnya pada tahun 2020 kita membeli sebidang tanah seharga Rp 100.000.000,00. Maka dalam Laporan SPT Tahunan 2020, tanah tersebut harus kita laporkan dalam kolom harta kategori Harta Tidak Bergerak senilai harga perolehannya.

Perlu diingat bahwa pencantuman harta tersebut bukan merupakan objek pajak, jadi tidak perlu takut. Buang jauh-jauh persepsi bahwa jika kita mengisi kolom harta, akan menambah pajak yang kita bayar.

Berdasarkan data dan informasi dari BPN/ATR atas pembelian tanah tersebut, Ditjen Pajak akan melakukan pencocokan data dengan SPT Tahunan yang dilaporkan oleh wajib pajak. Jika tanah tersebut sudah dilaporkan dalam kolom harta, maka wajib pajak bisa bernafas lega. Namun jika sebaliknya, maka Ditjen Pajak akan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

Jika wajib pajak tidak dapat memberikan klarifikasi yang memadai, maka atas keberadaan harta tersebut akan dianggap sebagai Tambahan Penghasilan dan dianggap sebagai Objek Pajak.

Sebagai informasi, atas harta yang ditemukan oleh Ditjen Pajak dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan akan dikenakan tarif PPh Final sebesar 30% untuk Wajib Pajak Pribadi ditambah dengan Sanksi 200% atau 2% per bulan selama maksimal 24 bulan. Lumayan besar jika dikalikan dengan harga perolehan tanah yang menjadi contoh di atas.

Oleh karena itu, sebagai wajib pajak yang baik, sebaiknya kita laporkan harta kita dengan jujur dan apa adanya. Bukan tidak mungkin di masa mendatang Ditjen Pajak menyampaikan “surat cinta” atas transaksi-transaksi kita yang diperoleh dari pihak ketiga. Misalnya informasi pembelian kendaraan dari Samsat, pencairan asuransi dari perbankan ataupun kepemilikan saham dari BEI.

Tinggalkan Komentar