Apakah Konsep Cost Attach dapat diterapkan pada Sektor Pemerintah ?

Beberapa waktu belakangan, saya kembali membuka buku Teori Akuntansi karya Prof.Suwardjono (Guru Besar FEB UGM). Sebenarnya bukan secara khusus ingin membaca, tetapi sekedar pengalihan agar perut tidak melilit. Maklum, setiap selesai makan malam biasanya asam lambung naik. Jadi saya sering “mengelabuhinya” dengan membaca buku.

Pada Bab 5 tentang Konsep Dasar, Prof. Suwardjono menyajikan beberapa sumber konsep dasar akuntansi, yakni dari Ikatan Akuntansi Indonesia; Accounting Principles Board; Paul Grady; Wolk, Tearney dan Dodd; Anthony, Hawins dan Merchant; dan yang terakhir dari Paton dan Littleton. Secara konseptual, beliau cenderung mengambil pendapat Paton dan Littleton (PL), sehingga pada pembahasan selanjutnya digunakan pendekatan tersebut.

Konsep dasar akuntansi menurut Paton dan Littleton (1970) terdiri atas :

  1. Entitas Bisnis (the business entity)
  2. Kontinuitas Usaha (continuity of activity)
  3. Penghargaan Sepakatan (measured consideration)
  4. Kos Melekat (cost attach)
  5. Upaya dan Capaian (effort and accomplishment)
  6. Bukti terverifikasi dan objektif (verifiable, objective evidence)
  7. Asumsi (assumption)

Dari ketujuh konsep tersebut, saya tertarik dengan konsep kos melekat, apakah bisa menjelaskan proses akuntansi pada sektor publik. Namun sebelum masuk ke konsep tersebut, mungkin kita bahas dahulu tentang konsep “kos” menurut Prof. Suwardjono. Bisa jadi ini akan menjadi sesuatu yang membingungkan jika kita terlanjur memiliki definisi sendiri sebelumnya.

Cost, Kos atau Biaya ?

Mungkin selama ini kita menerjemahkan istilah Cost menjadi Biaya. Namun menurut Prof. Suwardjono, cost dalam arti luas tidak dapat diterjemahkan menjadi biaya, beban, harga pokok ataupun harga perolehan.

Beliau tidak menerjemahkan cost, tetapi menyerap menjadi kos, sehingga benar-benar menjadi istilah baru yakni : bahan olah akuntansi yang akan menjadi data dasar dalam penyusunan statemen laporan keuangan. Atas bahan olah ini nantinya digunakan unit moneter sebagai pengukurnya.

Cost atau kos merupakan penghargaan sepakatan (konsep dasar measured consideration) yang muncul dari suatu transaksi, yang nantinya akan dilekatkan pada objek transaksi tersebut.

Misalnya ketika kita membeli Mesin Produksi senilai Rp 50 juta, maka dikatakan bahwa Kos Mesin Produksi tersebut ketika diukur dengan unit moneter adalah Rp 50 juta.

Ketika kita memaknai dengan Biaya, maka akan cukup rancu. Karena pada prinsipnya, akuntansi harus mengolah bahan yang sama, ketika kita mengolah “Biaya” maka akan berbeda secara substansi dengan “Uang Tunai” misalnya. Uang tunai tidak bisa dianggap sebagai “biaya”. Namun uang tunai memiliki kos karena daya yang terkandung di dalamnya.

Dengan terminologi kos, maka bahan yang diolah tetap sama, yakni Uang Tunai (Kos Rp 50 juta) dengan Mesin Produksi (Kos Rp 50 juta).

Nah, ketika mesin produksi tersebut menghasilkan produk maka terjadi aliran biaya keluar. Artinya, biaya di sini adalah kos yang telah dibebankan (expired cost).

Memang, sangat tipis dan mirip sekali kedua hal tersebut. Saya sih monggo saja mau pakai yang mana, karena Prof. Suwardjono nampaknya sangat idealis terhadap hal ini, bahkan sering berseberangan dengan pakar lain, bahkan di IAI sendiri.

Kos Melekat (cost attach)

Perbedaan penggunaan istilah kos dan biaya nampaknya bisa dipahami ketika masuk ke konsep ini. Bahwa harga sepakatan yang diatributkan ke objek lebih tepat jika menggunakan istilah kos, bukan biaya.

Konsep ini menyatakan bahwa kos melekat pada objek yang direpresentasinya, sehingga kos bersifat mudah bergerak dan dapat dipecah-pecah atau digabungkan kembali mengikuti objek yang dilekatinya.

Kegiatan suatu perusahaan terdiri atas penggabungan berbagai faktor produksi untuk menghasilkan produk baru yang akan dijual. Faktor-faktor produksi terebut memiliki kos terkandung (embodied cost) ataupun kos penggantian (displacement cost). Nah aliran faktor-faktor produksi tersebut dicatat oleh akuntansi berbasis pada kos-nya, misalkan kos bahan baku, kos tenaga kerja, kos jasa mesin (depresiasi) dan kos lainnya, sehingga secara bersama-sama mereka akan membentuk kos produk.

Secara singkat dan ringkasnya :

Kos Produk =  kos bahan baku + kos tenaga kerja + kos jasa mesin (depresiasi) + kos lainnya

Inilah inti dari konsep kos melekat tersebut. Kemudian, kalau produk tersebut telah terjual dan terjadi penghargaan sepakatan yang lebih tinggi daripada gabungan kos produk, maka muncul 2 kos baru :

  1. Kos baru sebagai penggantian kos yang melekat dan dikorbankan (kos barang terjual)
  2. Kos baru sebagai tambahan aset (laba)

Kos yang melekat pada barang atau jasa yang dikorbankan (keluar dari kesatuan usaha) untuk menimbulkan pendapatan akan menjadi pengukur besarnya expense, sedangkan kos yang belum dianggap keluar merupakan himpunan kos yang melekat pada aset dan menunggu pengalokasian dan penggabungannya lebih lanjut.

Kos Melekat (cost attach) pada Sektor Pemerintahan

Dari pemahaman konsep kos melekat tersebut, saya tergelitik untuk menerapkannya dalam aktivitas pemerintahan. Apakah konsep ini bisa diterapkan seluruhnya, sebagian atau malah tidak sama sekali.

Jika konsep tersebut ditarik ke dalam entitas pemerintahan atau sektor publik, apakah dapat secara tepat menjelaskan aktivitas di dalamnya?

Dalam pembahasan kali ini, ruang lingkup yang saya ambil adalah satuan kerja tempat saya bekerja, yakni Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V. Salah satu tugasnya adalah pelaksanaan pemetaan mutu pendidikan tinggi, tentu saja di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut, tentu saja diperlukan pendanaan yang bersumber dari APBN, sehingga berlaku sistem akuntansi pemerintahan. Hal fundamental yang membedakan antara akuntansi komersial dengan sektor publik adalah pada orientasi usahanya. Sektor publik tidak berorientasi pada profit, artinya segala sumber daya yang diolah semata-mata ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Perlu diingat, Kos adalah Bahan Olah dalam Akuntansi.

Pada konteks entitas komersial, aliran kos tersebut dapat ditelusuri dengan pasti. Akuntansi akan mencatat setiap aliran kos, mulai dari ketika suatu aset masuk ke entitas, lalu diolah di dalam entitas tersebut, hingga kemudian keluar dari entitas. Hal tersebut direpresentasi oleh konsep cost of good sold (COGS) atau kos barang terjual.

Ketika entitas membeli bahan baku, yang terlibat adalah kos bahan baku. Kemudian bersama-sama dengan kos yang lain, misalnya kos depresiasi, tenaga kerja dan overhead membentuk kos produk. Di sini masih sangat jelas dan trace-able. Kemudian, ketika produk tersebut dijual, muncul aliran kos masuk yang direpresentasi oleh revenue (COGS dan Laba). Itulah poin dari konsep cost attach.

Lalu, bagaimana dengan sektor publik?

Berpijak pada aktivitas yang dijalankan di satuan kerja saya, agak sulit untuk secara jelas menelusuri aliran kos tersebut. Mari kita pahami dengan sebuah contoh.

Salah satu kegiatan yang ada di LLDikti adalah Evaluasi Dokumen Usulan Rekomendasi. Kita asumsikan hal itu seperti proses manufaktur pada entitas komersial.

Jika anggaran yang bersumber dari APBN kita anggap sebagai kos, maka yang terlibat di misalnya :

  • Belanja Bahan, anggap saja Kos Overhead  misal: ATK, Cetak Laporan
  • Belanja Jasa Profesi dan Honorarium, anggap saja Kos Tenaga Kerja misal : Honor Panitia, Narasumber, Moderator
  • Belanja Perjalanan Dinas, anggap saja Kos lain-Lain misal : Transport, Perjadin, Biaya Hotel

Pada tahap kos tersebut masuk ke dalam kesatuan usaha atau entitas, kos masih dapat ditelusuri dan tercatat dalam proses akuntansi. Kemudian kos-kos tersebut diolah melalui proses aktivitas penelaahan, pengujian dan evaluasi sehingga menghasilkan hasil akhir berupa Dokumen Rekomendasi.

Pada tahap ini, aliran kos sudah lebih kabur, karena dari gabungan berbagai kos tersebut, tidak dapat didefinisikan kos produk akhir-nya. Berapa harga sepakatan 1 Dokumen Rekomendasi ?

Kalau harga sepakatan 1 dokumen rekomendasi adalah gabungan dari kos-kos yang terlibat tersebut, maka timbul pertanyaan selanjutnya. Apakah harga sepakatan tersebut berlaku juga untuk semua LLDikti secara nasional ? Bagaimana menentukan “kadar” masing-masing kos tersebut ? Apakah sudah ada standarnya ?

Jika pada entitas komersial, kos produk akhir akan dijual, maka pada sektor publik tidaklah demikian. Pemberian rekomendasi pada perguruan tinggi merupakan sebuah layanan negara kepada masyarakat, sehingga bukanlah sebuah kegiatan transaksional. Hal ini lah yang menjadi pembeda utama.

Namun demikian, perlu kiranya memberikan batasan yang jelas, berapa kos produk akhir yang ideal akan dilekatkan pada 1 dokumen rekomendasi tersebut. Adanya batasan yang jelas, akan mendorong efektivitas dan efisiensi anggaran.

Dalam statemen laporan keuangan sektor publik, kos-kos tersebut diistilahkan dengan beban (berbeda dengan Prof. Suwardjono). Jika kita telusuri, timbulnya kos tersebut dituangkan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Kemudian, kos-kos tersebut masuk ke dalam Laporan Operasional (LO) dalam akun-akun Beban Operasional, kemudian membentuk Surplus atau Defisit LO. Menggunakan analogi entitas komersial, Surplus atau Defisit LO ini adalah laba atau rugi. Namun, dalam tahap ini, tidak nampak secara langsung produk akhir yang dihasilkan (biasanya tertuang secara terpisah misalnya dalam Laporan Kinerja Instansi tentang capaian-capaian yang dihasilkan dari anggaran yang diserap).

Jika produk akhir yang dihasilkan saja tidak cukup jelas terlihat, apalagi kos atas produk akhir tersebut. Tidak ada penghargaan sepakatan (measured consideration) yang jelas atas kos-kos yang digunakan. Dari arah sebaliknya, ke manakah aliran kos-kos tersebut akan bermuara (cost pool-nya)? Belum lagi jika kita menghitung kos-kos lain, seperti gaji PNS, operasional sehari-hari seperti kos pemeliharaan, langganan listrik, internet, atau kos bahan bakar mobil dinas?

Sehingga menurut saya, konsep cost attach atau kos melekat tidak dapat diterapkan secara menyeluruh pada sektor pemerintahan.

Lalu bagaimana ?

Implikasi dari kesimpulan tersebut adalah, ketidakjelasan kos produk akhir yang dihasilkan oleh entitas sektor publik. Ketidakjelasan tersebut, akan membawa pada inefisiensi anggaran, karena tidak ada batasan yang jelas tentang berapa “kadar” kos yang dibutuhkan untuk menghasilkan layanan.

Memang, Kementerian Keuangan sejatinya telah membuat Standar Biaya Keluaran (SBK), yang menunjukkan besaran biaya yang ditetapkan untuk menghasilkan keluaran (output)/sub keluaran (sub output). Saya melihat bahwa standar biaya keluaran tersebut dapat dianggap sebagai “standar kos produk akhir”. Ukuran rupiah yang dilekatkan dalam SBK menjadi kos produk yang disepakati. Kendati demikian, secara harfiah, kos produk akhir-nya bukan merupakan gabungan dari kos-kos yang terlibat, tetapi berdasar analisis dan perhitungan tim penyusunnya (bersifat given).

Selain itu, SBK hanya mencakup sebagian kecil dari layanan yang ada di semua satuan kerja pemerintah. Artinya, masih banyak layanan yang belum didefinisikan secara jelas SBK atau kos produk akhir-nya.

Penerapan konsep cost attach dalam proses akuntansi sektor publik bisa dimulai dari penetapan kos produk akhir yang direpresentasi oleh SBK, meski tidak ideal. Adanya standar kos produk akhir akan membawa kepada praktik penggunaan anggaran APBN yang efektif, efisien dan akuntabel. Meski demikian, pernyataan ini bukan berarti apa yang sudah berlangsung selama ini tidak efektif, efisien dan akuntabel. Hanya saja dengan kehadiran standar yang jelas, ketiga prinsip tersebut dapat terlihat dan mampu meningkatkan kredibilitas serta kinerja sektor pemerintahan.

Baiklah, semoga tulisan ini bisa dipahami dan membawa manfaat. Koreksi dan sarannya sangat saya harapkan, mengingat tulisan ini masih sangat “mentah” dan membutuhkan literatur pendukung yang lebih valid. Terima kasih sudah membaca.

(saya masih ingin memberikan sentuhan gambar ilustrasi dan menemukan literatur yang representatif, semoga ada kesempatan)

Tinggalkan Komentar