Pembaca yang Terkotak

Sebulan lebih, nggak nulis apapun di blog ini. Biasa lah, kerjaan mulai berduyun-duyun datang. Sebagai blogger yang masih ababil, masih bisa ditolerir kali ya. Yang penting absen nulis, paling nggak sebulan sekali.

Kemarin, saya menyempatkan diri untuk menengok buku-buku koleksi, yang ironisnya hampir 75% belum tuntas saya baca. Ada perasaan rindu masa-masa kecil, saat dulu, membaca adalah aktivitas favorit dan sangat menyenangkan. Di usia SD sampai SMP, saya merasa menjadi kutu buku yang sangat kehausan. Kenapa? Keinginan untuk membaca buku sangat kuat, namun sayang waktu itu saya belum punya akses yang memadai untuk bisa membaca buku-buku bagus. Jangankan untuk membeli buku, sekedar nyari buku bagus di perpustakaan untuk dipinjam saja terasa sulit.

Kondisi itu berbalik. Kini, saat kemampuan finansial untuk membeli buku itu ada, dan dari sekian banyak buku yang sudah dibeli, saya malah kesulitan untuk mendapat waktu dan mood yang pas untuk membaca. Ironis ya. Ada lebih dari 100 buku di rumah, tapi sebagian besar hanya nongkrong manis. Saya memang ingin membuat mini library di rumah, dan suatu saat ingin menjadikan koleksi itu sebagai media berkomunitas. Saya tertarik untuk kembali berliterasi, walau tidak untuk sekarang.

bukuiqbal

Dulu, saya sempat begitu bersemangat untuk bisa menerbitkan buku sendiri. Ada beberapa tulisan yang saya buat, namun belum juga selesai, dan entah akan selesai atau tidak. Hehe. Keinginan itu, meski kadang surut-menyala, masih tersimpan. Niatan itu sempat akan diwujudkan, saat tren nulis melalui self publisher kian banyak. Tapi, ya itu. Realitas dunia pekerjaan memang harus menjauhkan passion itu.

Oh ya, mengamati perkembangan di sosial media, saat ini para penikmat buku cenderung memiliki rasa fanatik yang kadang susah dijelaskan dengan kata-kata yang pas. Ada beberapa kawan yang begitu setia dengan buku-buku terbitan sebuah Publisher. Hal ini sebenarnya wajar, namun ketika hal itu dibarengi dengan sikap “anti” yang berlebih terhadap penerbit lain, bahkan sampai menebarkan hal-hal yang menjatuhkan, menurut saya itu kurang baik.

Okelah, jika rasa fanatik itu masih berkutat pada jenis buku, genre cerita, anime versus manga, DC vs Marvel, atau keKorea-koreanan, mungkin itu tidak akan menimbulkan ekses terlalu negatif. Polarisasi itu cenderung menjadi destruktif ketika berkembang menjadi perseteruan ideologi, sikap politik atau manhaj yang dianut sang penerbit. Di sini, semangat untuk tholabul ilmu terdistorsi oleh sikap fanatik buta. Tidak semua begitu, namun, ayolah, tidak perlu memungkiri yang terjadi 😀

Sikap moderat akan menjadi pilihan, di saat perdebatan ala facebook kian tak tentu arah. Saya pernah mendapati, seorang kawan memposting tentang buku yang baru dibacanya, disertai beberapa kutipan dan opini pribadinya, diserang dengan beberapa komentar pedas di facebook. Dari pengamatanku, sebenarnya yang menjadi penyebab adalah perbedaan arus-politik dan gerakan yang dianut, antara kawan yang posting dengan para komentatornya. Terkadang, cara mereka berdebat sangat jauh dari diskusi ilmiah, bahkan cenderung menjadi liar dan penuh cemoohan. Bukan lagi mencari ilmu dan kebenaran.

Saya sendiri, lebih senang mengoleksi buku-buku dari berbagai latar belakang. Yang sekiranya bagus dan tertarik, dibeli. Asal bukan buku-buku yang memang mustahil saya beli lho ya. Misalnya, saya tidak akan membeli buku tentang tuntunan beragama Hindhu, karena saya seorang muslim. Simple. Terkadang, orang akan menilai pemahaman dan madzab orang lain dari buku-buku koleksinya. Jika ia punya buku karya si A, berarti ia seorang liberal, jika ia punya buku yang ditulis si B, berarti ia seorang orientalis. Jika ia penyuka buku-buku terbitan C, maka ia adalah penganut paham radikal, atau jika ia pengoleksi buku dari penerbit D, ia adalah golongan nasionalis.

Sebuah model stereotip yang menyesatkan. Yang seperti itu, tidak bisa digeneralisir. Mereka akan bingung menentukan orang yang punya koleksi lintas madzab, berbagai model penerbit, atau penulis-penulis dari semua model pemikiran. Padahal, orang yang luas ilmunya, pasti adalah orang yang banyak membaca. Membaca buku dari berbagai jenis aliran pemahaman akan menjadikannya bijak dalam bersikap. Bukan sesuka hati menghakimi.

Saya sendiri, agak sulit mungkin menentukan gaya bacaan saya. Bukan bermaksud “umuk” terkait dengan paragraf sebelumnya, saya senang dengan berbagai buku yang mungkin bertolak belakang satu sama lain.

Sebagai gambaran saja ya. Beberapa penulis favorit saya (atau paling tidak yang pernah saya beli bukunya) ; Gus Mus, Ust. Salim A Fillah, Cak Nun, Jusuf Kalla, Ust. Fauzil Adhim, Awy A Qolawun, Andrea Hirata, Sayyid Sabiq, dr. Arifianto a.k.a dokter Apin, @ukhtiSally, Dee Lestari, Jamil Azzaini, Indra Noveldy, Dr. Musthafa Murad, Nadirsyah Hosen, Buya Hamka, Kiki Barkiah, Asma Nadia dan DR. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Saya juga berencana mempunyai buku-buku karya ust. Felix Siaw, Saptuari Sugiharto, Ade Armando, Putut EA, Joserizal Jurnalis, dr. Adian Husaini, Bactiar Nasir, Zuhairi Misrawi, Anis Baswedan, ust. Yusuf Mansur dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana pendapat Anda? Hehe.

Buku-buku yang saya beli, diterbitkan oleh berbagai penerbit ; Kompas Gramedia, Pro U, Mizan, Bentang Pustaka, Asma Nadia Publisher, penerbit Zaman, Pustaka Al Kautsar, Menara Kudus, Pustaka Darul Haq, Noura, Aqwam, Khalista, Mastakka dan beberapa penerbit lain. Sekarang, silakan simpulkan apa gaya membaca saya 😀

Jujur saja, saya kurang suka dengan labelisasi yang berlebihan dan ngawur terhadap seseorang hanya karena buku yang dibacanya. Ada cukup banyak cap yang disematkan pada orang lain yang bersebarangan di media sosial, dan saya tidak mau menyebutkannya di sini. Mengganggu saja :v

Sudah, nikmati saja setiap kata yang mengalir dari buku, silahkan memilih sesuai genre yang disukai, madzab yang dianut, gerakan politik yang diusung, atau suasana hati yang digalaukan. Tapi, stop menghinakan orang lain hanya karena buku yang dibacanya. Jangan lagi dikotak-kotakkan hanya karena membaca. Jadilah pembaca buku yang bijak dan arif. 😀

guru kecilku
Salah satu buku bagus yang belum sempat saya baca | 5 Guru Kecilku, karya Kiki Barkiah

1 Komentar

  1. ILYAS AFSOH berkata:

    PERTAMAXXX … pecinta buku Novel nih ,
    Public Speaking Semarang
    pasti banyak banget novel yang udah katam di baca

Tinggalkan Komentar